Review Banana Fish (2018)
"I envy you... being able to jump like that..."
Directed by Hiroko Utsumi
Created by Akimi Yoshida
IMDB: 7,9/10
Myanimelist: 8,33/10
Selama PJJ dikarenakan pandemi ini membuat saya bingung mau ngapain, tentu saja salah satu pilihan selain mengejar deadline kampus dan goleran, saya berusaha mengisi waktu dengan menonton series yang sudah banyak saya skip sejak 2017 yang lalu. Kali ini saya mau membahas salah satu anime series yang diadaptasi dengan judul yang sama, yaitu Banana Fish.
Banana Fish merupakan manga karya Akimi Yoshida pada tahun 1985 sampai 1994 yang diserialkan di Bessatsu Shoujo Comic, kemudian pada 2018 dijadikan serial anime yang dipegang oleh MAPPA Studio. Bermula dari seorang tentara yang menggila di Iraq, yang menghubungkan dengan Banana Fish, sesuatu yang misterius, sehingga berusaha diungkap oleh Ash Lynx dan teman-temannya.
Jujur saja, saya merupakan orang yang sedikit malas untuk membaca manga atau novel kalau tidak kelewatan keponya, baru saya akan baca. Banana Fish ini merupakan manga yang terkenal dengan unsur shounen ai-nya (boys’ love) dengan balutan crime dan thriller, menurut saya yang menjadi lebih menarik. Hiroko Utsumi melakukan sedikit perubahan antara manga dan anime-nya, berupa setting waktu dari tahun 1980an menjadi 2010an dan perang Vietnam yang diganti menjadi perang di Iraq.
Banana Fish memberikan plot cerita yang menarik, dengan latar Ash sebagai New Yorker, kemudian berusan dengan kriminal untuk mengarahkannya ke Banana Fish. *Spoiler* dalam 24 episode series ini, diarahkan dengan tempo yang tidak cepat atau lambat, dengan alur yang jelas. Awal mula Ash yang tidak sengaja mengetahui rahasia dari Banana Fish, bertemu dengan Eiji Okumura hingga berurusan dengan mafia. Alur yang dihadirkan dalam per episode tepat, tidak terburu-buru.
Ash Lynx yang merupakan karakter utama selain Eiji Okumura ini, memilki kepribadian yang terbalik. Ash yang mungkin seperti karakter utama yang cukup overpower dengan IQ di atas rata-rata, ganteng, jago berantem. Intinya karakter yang kelihatan badass dan tidak mengecewakan fangirls, sedangkan Eiji Okumura merupakan mas-mas Studio Ghibli (Saya selalu ingat art style Ghibli kalau melihat si Eiji ini) yang naif dan optimis, peduli teman, nekat, baik hati, tapi bisa sangar juga ternyata. Karakter Eiji sama Ash ini juga kontra dengan salah satu karakter lainnya, Lee Yut Lung, yang bagi saya mirip dengan Ash, tetapi manipulatif dan sedikit childish (they’re both smart) dan bertolak belakang dengan Eiji, karena tidak naif dan pesimis. Semakin mengikuti ceritanya, latar belakang dan motivasi dari karakter tersebut diungkap secara perlahan. Selain tiga karakter yang disebutkan di atas, antagonis utama dalam anime tersebut, ‘Papa’ Dino Golzine yang merupakan bos mafia terkenal seantero New York City ini, gak jauh beda seperti karakter antagonis umumnya, yang sama-sama manipulatif, maniak, dan sadistik.
Ada triggered warning yang sangat jelas ketika menonton anime ini, karena memang memiliki rating untuk tujuh belas tahun ke atas, dikarenakan unsur violence dan profanity (di anime ini memiliki unsur sexual violence) jadi bukan merupakan tontonan yang family friendly seperti Doraemon, karena dua unsur yang disebutkan nyata apa adanya. Meskipun memang kritik yang diterima untuk series ini berfokus dengan dua unsur tadi, dikarenakan menimbulkan pengaruh negatif dan traumatis. Banana Fish disempurnakan dengan memiliki plot yang kuat dengan visual cantik dari MAPPA Studio membuat anime ini memang layak untuk ditonton.
THIRTEENTALKS: 8,8/10