Review Lolita (1997)
Lolita
(1997)
“She was Lo, plain Lo, in the morning, standing four feet ten in one sock. She was Lola in slacks, she was Dolly at school. She was Dolores on the dotted line. But in my arms she was always - Lolita. Light of my life, fire of my loins. My sin. My soul”- Humbert, Lolita (1997)
Directed by Adrian
Lyne Produced by Mario Kassar, Joel
B. Michaels Screenplay by Stephen
Schiff Based on Lolita by Vladimir
Nabokov Starring Jeremy Irons, Melanie
Griffith, Frank Langella, Dominique Swain Music
by Ennio Morricone Cinematography Howard Atherton Edited by David Brenner Julie Monroe Production company Pathé Distributed
by The Samuel Goldwyn Company
IMDB
: 6.9/10
Rottentomatoes:
68%
Metacritics:
46%
Sinopsis
Seorang Pria paruh baya, Humbert
Humbert (Jeremy Irons) jatuh cinta pada gadis belia berumur empat belas
tahun bernama Dolores ‘Lolita’ Haze (Dominique Swain).
IMO
Melihat sinopsisnya saja, pasti kalian akan mencak-mencak karena sudah
pasti Lolita akan berakhir dengan creepy
bersama unsur pedofilianya. Saya ngerasa begitu juga dan karena saya kepo, ya
saya tonton deh. Lolita sendiri merupakan adaptasi dari masterpiece
karya Vladimir Nabokov yang diterbitkan pada tahun 1955 dengan cerita
yang sama dan tentu saja umurnya Lolita BAHKAN lebih muda dari film yang
mengadaptasinya, yaitu dua belas tahun. Sejujurnya, saya bahkan belum baca
novelnya karena mager ke perpustakaan kampus dan saya yakin bakal berbahasa
rusia. Sebelumnya, saya akan menjelaskan apa itu Lolita? Lolita merupakan istilah seorang gadis belia yang dewasa sebelum
waktunya. Kalau mungkin kalian akan familiar dengan Lolicon atau Lolita Complex,
yang dimana memilki obsesi tehadap gadis belia.
Lolita dibuat dua kali pada tahun yang berbeda dan juga dengan sutradara
yang berbeda, Lolita pada tahun 1962 yang
dibuat oleh Stanley Kubrick (2001 : A
Space Odyssey, A Orange Clockwork) dan 1997
oleh Adrian Lyne. Tentu saja, sudut
pandang cara menjelaskan alur yang diberikan oleh kedua sutradara ini akan sangat
berbeda. Stanley dengan Lolita lebih soft daripada Lolita garapan Adrian.
Mengapa begitu? Adrian menggambarkan setiap plot yang ada lebih mirip di
novelnya daripada Stanley, dan jauh lebih seksual . Meskipun begitu, kita dapat
melihat kalau Lolita garapan Stanley memilki
plus point tersendiri bagi para kritikus.
Saya nonton Lolita ini pusing tujuh keliling, bukan ngapa-ngapa..Saya
sendiri bahkan belum baca novelnya serta menonton Lolita-nya Stanley Kubrick buat
pembandingnya, inipun saya membaca review para buzzer soal Lolita ini. Adrian membawa kita lebih focus dengan cara
seksual yang astaga..saya kesal sendiri nontonnya. Vladimir Nabokov menuliskan Lolita dengan sudut pandang Humbert
Humbert, yang dimana Humbert Humbert melihat Lolita dengan begitu creepy.
Adrian membuka awalnya dengan Humbert yang masih muda dan jatuh cinta
terhadap Annabel Leigh (Emaa Griffiths
Malin). Selain itu, Adrian juga memberikan porsi yang cukup buat Clare
Quilty, tetapi tidak untuk kehadiran Charllotte
(Melanie Griffith) sebagai Ibunya
Lolita yang menjadikan ‘umpan’ Humbert untuk mendekati Lolita.
Jeremy Irons (BvS, The Lion
King) berakting cukup baik, Saya gak terlalu merasa ngena aja dengan karakter Humbert
Humbert disini. Walaaupun digambarkan dengan Jeremy Irons yang charming tentu saja saya masih horror
menontonnya. Lolita atau Dolores Haze yang diperankan oleh Dominique Swain sangatlah baik, dia
berhasil membawa Lolita sebagai Lolita yang berbeda dan lebih vulgar. Meskipun
saya gak yakin dengan Lolita yang sama sekali tidak terlihat kayak anak berumur
empat belas tahun, malah saya berpikir disini Lolita berumur tujuh belas tahun!
Mengingat kalau Adrian yang menggarap dengan lebih eksplisit hubungan antara
Humbert dan Lolita daripada Stanley Kubrick.
Saya suka banget lihat style-nya
Lolita, manis banget dan keren dan juga sinematrografi yang diberikan juga
berasa banget tahun 40-an dan juga memilki suasana yang cukup kelam ketika
Lolita bersama Humbert, apalagi diakhir cerita ketika Humbert melakukan
pembunuhan. Di akhir cerita kita mungkin merasakan apa yang dirasakan oleh
Humbert, antara puas dan sedih ketika melakukan pembunuhan begitu juga apa yang
bisa kita lihat dari sisi Lolita sendiri,
kita juga akan tahu kalau Lolita dan Humbert tidak berakhir bahagia.
There is no happy ending in this movie.
Final Thoughts
Lolita
menjadi sebuha karya masterpiece
Vladimir Nabokov, diadaptasi dengan dua jalan cerita yang berbeda. Lolita karya
Adrian lebih berasa eksplisit daripada Stanley dan saya bahkan tidak merasakan
sesuatu yang berbeda, malah semakin seram aja. Film ini tidak akan berjalan dengan genre Romance yang manis, tapi malah menceritakan hubungan yang tidak sehat. Apabila, kamu penikmat film
klasik dan sastra klasik, mungkin kamu bisa menyukainya.
THIRTEENTALKS
: 65%