Review Dua Garis Biru (2019)
Dua Garis Biru (2019) by Ginatri S. Noer
“Ia bahkan tidak bisa bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Bagaimana mau bertanggung jawab atas orang lain?”“ Menjadi Orang Tua bukan hanya 9 bulan 10 hari, tetapi seumur hidup”
Saya awalnya jarang nonton film Indonesia, bukan karena saya gak
nasionalis atau apalah, tetapi film Indonesia kurang variatif hanya berpatok
sama horor atau percintaan dibalut reliji. Lama-lama, saya juga bete. Kalaupun
ada yang bagus banget, jarang banget karena peminatnya gak sesuai pasar.
Terkadang saya berpikir kalau film yang dibuat disini cuma berpatok sama uang, sing
penting laku.
Beberapa bulan yang lalu, dunia film Indonesia heboh sama Dua Garis
Biru, kayaknya Dilan pun gak ada apa-apanya deh. Sampai dibikin petisi
segala biar gak tayang. Sama kayak Kucumbu Tubuh Indahku yang akhirnya
saya nyesal belom sempat nonton. Pokoknya manusia paling relijius sini tuh suka
merasa risih aja sama apapun yang ada di sini. Saya aja bingung. Dua Garis Biru
sendiri merupakan adaptasi novel karya Lucia Priandarini dengan judul yang sama.
Film ini cukup kontroversial sebelum tayangnya, sampai dibuat petisi
segala karena katanya mengajarkan pergaulan bebas. Padahal sama sekali nggak.
Saya sendiri tertarik sejak awal karena memiliki konsep drama yang gak
neko-neko atau horor terus. Walaupun intinya tentang Married by Accident
dalam usia yang muda dan kurangnya sex education yang di sekolah, serta
sebagai salah satu faktor meningkatnya kemiskinan. This movie is legit.
Saya sendiri kan sebel sama yang menye-menye di film drama, yang berakhir
saya mencak-mencak karena merasa geli aja lihatnya Kalau film ini sih nggak,
malah sayanya yang nangis. Film ini gak jelek menurut saya, malah lumayan bagus
apalagi sebenarnya cukup menyindir sistem pendidikan dan kontruksi sosial
karean dirasa hal tersebut cukup tabu.
Bercerita tentang Bima dan Dara yang baru aja kelas tiga SMA dengan
nekatnya melkukan hubungan suami-istri sebelum menikah dan di bawah umur. Gak
jauh-jauh kayak Juno (2007), tetapi hanya beda kultural. Kalau dibilang
apakah ini film mengajarkan pergaulan bebas? Nggak sama sekali, Film ini
seperti yang saya bilang sebelumnya menyindir sistem pendidikan dan kontruksi
sosial yang ada di Indonesia, akibat kurangnya pendidikan seks yang dirasa
tabu, boro-boro tau spiral…kondom aja bisa dikira permen . Bahkan film
ini menjelaskan akibat dari menikah muda tanpa persiapan sama sekali serta
resiko dari kehamilan di usia yang belum cukup.
Dalam plotnya sendiri Ginatri S. Noer sebagai sutradara sekaligus penulis
mengerjakan cukup baik, walaupun terkadang memilki dialog yang sebenarnya biasa
aja, tetapi dapat mudah dimengerti. Kalau buat sinematiknya baik dengan
detailnya dengan perbandingan simbolik seperti *spoiler* adegan Bima ngelihat
Puput Bersama dengan pengasuhnya di kolam renang pribadi Dara dan anak-anak
berenang di sungai dekat rumah Bima yang menunjukkan perbedaan kelas sosial atau
strawberry dan jus strawberry.
Zara JKT 48 berakting cukup baik sebagai Dara begitu juga Angga Yunanda
sebagai Bima sama baiknya, yang menarik perhatian saya sebenanrnya Cut Mini dan
Lulu Tobing sebagai Ibu dari kedua pihak yang paling menonjol.
Dua Garis Biru mungkin termasuk salah satu bukti film coming of age-nya
Indonesia yang bagus. Dua Garis Biru sama sekali gak ngajarin hal-hal aneh kok,
tapi malah mengenalkan kita secara langsung yang harus dihadapi ketika
kehamilan dan pernikahan di usia dini.
THIRTEENTALKS : 8,0/10